#StressLessEarnMore

7 Jenis Risiko Bisnis yang Muncul saat Bisnis Naik Level: Dari Tim hingga Operasional

7 Risiko Bisnis saat Scale Up
7 Risiko Bisnis saat Scale Up
7 Risiko Bisnis adalah

Buat business owner, rasanya pasti bahagia ketika bisnis lagi naik level. Tim makin gede, operasional makin maju, dan peluang pun makin terbuka lebar. Tapi di lain sisi, pebisnis juga perlu hati-hati. Sebab di fase seperti itulah, justru makin banyak risiko bisnis yang tiba-tiba muncul. Kok bisa?

Sederhana saja, karena bisnis (biasanya) masih belum siap beradaptasi di level baru. Data Startup Genome pun bilang, bahwa 70% startup gagal dalam 10 tahun terakhir karena scaling terlalu cepat tanpa fondasi yang kuat. Entah itu dari sisi sistemnya, timnya, ataupun manajemen cash flow-nya.

Makanya, penting buat kamu tahu jenis-jenis risiko bisnis yang sering muncul saat bisnis lagi naik daun. Karena semakin kamu paham ancamannya, semakin siap juga kamu ngatur strategi bertahannya. So, berikut Crepanion uraikan setidaknya 7 jenis risiko yang dimaksud.

1. Risiko Struktur Tim: Semua Orang Jadi Serba Ganda

Waktu bisnis masih kecil, semua orang multitasking itu wajar. Tim marketing juga ngerjain admin, orang operasional ikut mikirin konten. Tapi saat bisnis mulai naik level, pola serba bisa ini justru bisa jadi bumerang. Inilah risiko bisnis yang pertama. Tapi kenapa demikian?

Soalnya, struktur tim yang nggak jelas bikin jobdesc tumpang tindih. Deadline molor, akuntabilitas kabur, dan konflik antarperan mulai muncul. Yang tadinya fleksibel, lama-lama jadi chaos karena semua merasa “bukan tanggung jawab gue.”

Masalahnya bukan cuma soal efisiensi, tapi juga soal trust dan kultur kerja. Kalau nggak segera dibenahi, risiko bisnis ini bisa bikin performa tim stagnan bahkan burnout berjamaah.

2. Risiko Operasional: Proses yang Tadinya Jalan, Tiba-tiba Buntu

Waktu orderan belum terlalu banyak, sistem manual masih bisa ditoleransi. Tapi ketika volume naik, proses yang nggak terdokumentasi dengan rapi mulai kelihatan celahnya. Ada yang lupa update spreadsheet, SOP berubah tapi nggak semua tim tahu, atau approval nyangkut di satu orang doang.

Akibatnya apa kalau demikian? Yap, proyek jadi berhenti di tengah jalan, timeline makin ngaret, dan yang kena semprot bukan pelaku, tapi yang terakhir megang file. Risiko bisnis ini sering muncul karena operasional masih jalan pakai “ingatan dan kebiasaan,” bukan sistem yang sustainable.

Kalau dibiarkan, bottleneck makin gede dan jadi bom waktu. Apalagi kalau udah masuk fase ekspansi antar-divisi atau lintas kota. Repot, bos.

3. Risiko Keuangan: Revenue Naik, Tapi Cashflow Masih Ngos-ngosan

Revenue naik itu kabar baik. Tapi kalau duit yang masuk nggak pernah kerasa di saldo akhir bulan, itu pertanda cashflow kamu lagi ngos-ngosan. Dan iya, ini bukan masalah yang bisa kamu skip sambil bilang “nanti juga stabil sendiri.”

Banyak bisnis yang kelihatannya sukses dari luar, padahal dari dalam lagi struggle bayar vendor, cicil gaji, atau nutup biaya produksi yang kelewat mahal. Soalnya, makin besar bisnis, makin kompleks juga struktur biaya dan siklus pembayarannya.

Ini risiko bisnis yang paling sering diremehkan. Karena mindset-nya masih “yang penting omset naik.” Padahal, yang bikin bisnis hidup bukan cuma uang masuk, tapi juga uang keluar yang sehat.

4. Risiko Produk: Fitur Nambah, Tapi Nggak Ada yang Pakai

Semakin besar bisnis, semakin banyak juga ide “canggih” yang pengin ditambahin ke produk. Mulai dari fitur baru, variasi layanan, sampai bundling yang katanya bikin experience makin kece. Tapi kenyataannya, fitur nambah belum tentu bikin pengguna happy.

Yang sering kejadian: tim produk sibuk ngejar inovasi internal, tapi lupa ngecek relevansinya ke pasar. Ujung-ujungnya, effort tinggi, tapi adopsinya rendah. Produk makin ribet, user makin bingung, dan tim support jadi sasaran curhat pelanggan.

Risiko bisnis ini bukan soal gagal inovasi, tapi gagal validasi. Kalau diteruskan, bisa jadi beban biaya dan bikin value proposition utama kamu malah tenggelam.

5. Risiko SDM & Rekrutmen: Salah Orang, Salah Dampak

Waktu bisnis lagi butuh tenaga tambahan, kecepatan rekrut kadang jadi prioritas. Tapi asal ambil orang tanpa cek visi dan kultur kerja, bisa jadi blunder jangka panjang. Apalagi kalau posisinya strategis—sekali salah, efek dominonya bisa nyentuh semua lini.

Masalahnya bukan cuma performa individu, tapi juga dinamika tim. Orang yang salah bisa jadi toxic trigger, bikin internal nggak harmonis, atau malah jadi bottleneck baru. Dan biasanya, semakin besar tim, semakin susah juga buat narik ulang kultur yang udah keburu berubah.

Risiko bisnis di level ini bukan soal kekurangan orang, tapi kelebihan orang yang salah. Jadi, daripada buru-buru hiring, mendingan pelan tapi tepat.

6. Risiko Branding & Komunikasi: Makin Ramai, Makin Nggak Konsisten

Saat bisnis berkembang, makin banyak channel komunikasi yang harus di-handle. Ada media sosial, newsletter, campaign digital, bahkan komunikasi internal antardivisi. Dan di titik ini, branding yang tadinya solid bisa mulai goyah.

Kenapa? Karena makin banyak kepala, makin banyak versi cerita. Tim sales ngomong A, tim konten bikin B, dan customer service kasih respon C. Alhasil, brand voice jadi bias dan trust dari audience mulai luntur pelan-pelan.

Risiko bisnis ini sering luput karena dianggap “urusan kreatif.” Padahal, inkonsistensi branding bisa bikin persepsi publik amburadul dan melemahkan positioning kamu di market.

7. Risiko Founder Syndrome: Semua Harus Lewat Kamu

Di masa awal, semua memang harus kamu pegang. Tapi saat bisnis naik level, micromanaging jadi jebakan. Karena kalau semua keputusan harus lewat kamu, tim bakal jalan lambat dan nggak bisa tumbuh mandiri.

Lama-lama kamu jadi bottleneck dari ide-ide brilian yang nggak sempat dieksekusi. Bahkan, kamu bisa kelelahan sendiri karena terlalu banyak yang nyangkut di meja kamu. Dan ketika kamu berhenti sebentar aja, bisnis ikut ngadat.

Risiko bisnis yang satu ini lebih ke pola pikir. Kalau kamu belum siap melepas kontrol dan mendelegasikan dengan percaya, jangan heran kalau pertumbuhan bisnismu malah mentok di kamu.

Simpulan

Itulah pembahasan lengkap soal 7 jenis risiko bisnis yang sering muncul saat bisnismu naik level, mulai dari urusan struktur tim, proses operasional, keuangan, sampai mentalitas foundernya sendiri. Supaya makin nempel, yuk kita rekap poin-poin penting yang tadi udah kita bedah:

  • Struktur tim yang multitasking kelewat batas bisa bikin peran jadi tumpang tindih, bikin kerjaan molor, dan bikin konflik internal muncul.
  • Operasional yang tadinya lancar bisa buntu kalau nggak ada dokumentasi dan sistem yang scalable.
  • Revenue boleh naik, tapi cashflow tetap harus sehat, karena bisnis nggak bisa hidup dari omzet aja.
  • Produk makin kompleks bukan berarti makin bagus, apalagi kalau fiturnya nggak dipakai user.
  • Rekrutmen yang buru-buru sering berujung pada salah orang, salah dampak.
  • Branding bisa goyah kalau makin banyak channel komunikasi tapi nggak punya arahan yang konsisten.
  • Dan yang terakhir, founder syndrome bisa jadi bottleneck utama kalau semua keputusan masih harus lewat kamu terus.

Jadi, kalau kamu pengen brand kamu naik level tapi tetap sustainable, kamu perlu lebih dari sekadar strategi growth. Kamu butuh struktur, sistem, dan komunikasi yang well-thought.

Nah, Crepa siap bantu kamu di sisi branding-nya. Mulai dari strategi konten, komunikasi, sampai aktivasi digital yang terukur dan berbasis data.

Yang jelas, setiap langkah kami didesain pakai prinsip:

  • Ownership: Brand kamu, kami rawat kayak brand sendiri.
  • Agile: Responsif, cepat adaptasi, dan nggak ketinggalan tren.
  • Risk-Based Thinking: Nggak cuma mikir keren, tapi juga mikir risiko dan impact-nya.

Udah siap bawa bisnismu naik kelas dengan strategi yang lebih rapi dan minim risiko bisnis? Langsung aja klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah buat ngobrol bareng tim Crepanion!