#StressLessEarnMore

Carbon Footprint di Indonesia: Tren, Regulasi, dan Dampaknya untuk Bisnis

Dampak Carbon Footprint di Indonesia
Fakta Carbon Footprint di Indonesia
Dampak Carbon Footprint di Indonesia

Crepanion perlu sadar, bahwa setiap keputusan bisnis hari ini, hampir selalu dinilai lewat lensa keberlanjutan. Ada banyak sebetulnya terkait indikatornya. Dan salah satu yang paling sering banget disorot itu adalah carbon footprint. Kenapa bisa begitu?

Karena setiap tahunnya, rata-rata emisi CO₂ per kapita di Indonesia itu berkisar 2,4 ton. Ya meski masih di bawah rata-rata global, namun di sektor energi itu meningkat tajam, menyumbang hingga 70 % dari total emisi nasional. Nah, bila tren ini dibiarkan, tekanan regulasi dan ekspektasi konsumen pada jejak lingkungan brand kamu jelas bisa melonjak dalam waktu singkat.

That’s why, artikel ini akan mengajak kamu membahas carbon footprint dari berbagai sisi: mulai dari tren dan kebijakan yang berlaku, hingga bagaimana dampaknya terhadap strategi bisnis kamu ke depan. Jadi, sebelum tren ini makin kencang, dan membuat brand kamu tertinggal, yuk ikutin pembahasan lengkapnya.

Apa yang Dimaksud dengan Carbon Footpprint?

Oke, sebelum terjun lebih dalam, kita pahami dulu soal: apa yang dimaksud dengan carbon footprint?

Dikutip dari Conservation International, carbon footprint adalah total emisi gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida dan metana, yang dihasilkan oleh individu, organisasi, atau produk. Biasanya, ini dihitung dalam satuan CO₂.

Lalu, konsep carbon footprint ini biasanya dibagi ke tiga kategori: Scope 1 untuk emisi langsung dari aktivitas bisnis, Scope 2 dari energi yang dipakai, dan Scope 3 dari rantai pasokan. 

Nah, dengan pemetaan ini, brand bisa tahu nih, di mana kira-kira titik kritis yang paling besar menyumbang carbon footprint mereka. Gimana? Klir, ya? Yuk, kita lanjut membahas agak lebih dalam.

Penyebab Carbon Footprint

Setelah tahu apa itu carbon footprint, sekarang saatnya kita jelajahi beberapa penyebab utamanya, biar kamu bisa pinpoint titik kritis secara lebih strategis. 

Berdasarkan analisis Our World in Data, ada beberapa sektor utama yang paling dominan menyumbang emisi global, dan pola ini juga relevan buat konteks bisnis di Indonesia.

1. Energi dan Listrik

Mayoritas carbon footprint datang dari penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Mulai dari pembangkit listrik, mesin industri, sampai penggunaan energi di rumah tangga, semua berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca.

2. Transportasi

Aktivitas mobilitas, seperti mobil pribadi, logistik, hingga penerbangan, jadi salah satu pemicu utama emisi. Pembakaran bensin dan diesel menyumbang jejak karbon signifikan, terutama di kota-kota besar dengan tingkat konsumsi energi transportasi yang tinggi.

3. Industri dan Produksi

Sektor industri, seperti semen, baja, dan kimia, menghasilkan emisi bukan cuma dari energi yang dipakai, tapi juga dari proses kimia itu sendiri. Misalnya, produksi semen melepas karbon dioksida langsung saat bahan bakunya diproses.

4. Pertanian dan Deforestasi

Penyebab carbon footprint lain datang dari lahan pertanian intensif, peternakan, dan penebangan hutan. Hewan ternak menghasilkan metana, sementara deforestasi mengurangi kemampuan alam menyerap karbon, sehingga memperparah total jejak karbon global.

5. Limbah

Pengelolaan sampah dan air limbah juga berkontribusi lewat emisi metana yang muncul saat bahan organik terurai. Meskipun porsinya lebih kecil dibanding sektor energi, limbah tetap jadi komponen yang nggak bisa diabaikan.

Cara Menghitung Carbon Footprint

Nah, setelah tahu penyebabnya, pasti muncul pertanyaan: bagaimana cara menghitung carbon footprint biar bisnis nggak cuma nebak-nebak? Tenang, ada beberapa langkah praktis yang biasa dipakai perusahaan untuk mapping jejak karbon mereka secara lebih terstruktur.

Cara menghitung Carbon Footprint

1. Identifikasi Operasi Bisnis yang Nyumbang Emisi

Mulai dulu dengan mapping aktivitas apa aja yang berpotensi menghasilkan carbon footprint. Bisa dari kendaraan operasional, penggunaan listrik, mesin produksi, sampai pengelolaan limbah. Intinya, catat semua titik emisi.

2. Kumpulkan Data

Setelah ketahuan aktivitasnya, next step adalah ngumpulin datanya. Misalnya berapa liter bensin dipakai, berapa kWh listrik yang dikonsumsi, atau berapa ton sampah yang dihasilkan. Semakin detail datanya, makin akurat hitungannya.

3. Cari Faktor Emisi yang Spesifik

Setiap jenis energi atau aktivitas punya faktor emisi yang beda. Contoh: 1 kWh listrik dari batu bara beda hasilnya dengan listrik dari energi terbarukan. Jadi data yang udah dikumpulin tadi perlu dikonversi dengan faktor yang sesuai.

4. Hitung dan Interpretasikan

Langkah keempat, hitung total emisi dengan satuan CO₂e (carbon dioxide equivalent). Hasilnya bukan cuma angka, tapi insight: sektor mana yang paling besar kontribusi carbon footprint-nya, dan strategi apa yang bisa diprioritaskan buat nurunin jejak karbon.

5. Gunakan Tools dan Kalkulator Resmi

Biar lebih gampang, banyak tools yang bisa dipakai, dari kalkulator online sampai software sustainability. Perusahaan besar biasanya pakai standar GHG Protocol atau ISO 14064 biar hasil perhitungan carbon footprint-nya valid dan bisa diakui secara global.

Faktor Carbon Footprint Indonesia

Carbon footprint Indonesia punya wajah tersendiri. Berdasarkan data dari Our World in Data, ada empat fakta terkait carbon footprint di Indonesia yang perlu diketahui, yaitu:

1. Emisi Total dan Emisi Per Kapita

Indonesia menghasilkan sekitar 692 juta ton CO₂ dari bahan bakar fosil di 2022, tumbuh 13% dari tahun sebelumnya. Angka ini menunjukkan bahwa walau emisi per kapita masih di bawah rata-rata dunia, laju kenaikannya bukan main santainya.

2. Sektor Penyumbang Utama

Menurut IRENA/World Resources Institute, sektor perubahan lahan dan kehutanan (deforestasi, buka lahan) adalah penyumbang terbesar, yaitu sekitar 50–60% total emisi nasional. 

Sisanya datang dari listrik, transportasi, industri, dan sektor lain. Ini berarti jejak bisnis kamu kemungkinan besar terpengaruh oleh isu kehutanan juga. 

3. Energi Masih Didominasi Fosil

Dari analisis IEA: emisi dari sektor energi di Indonesia, khususnya pembangkitan listrik berbasis batu bara, lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2000. Di 2021 saja, total emisi sektor energi telah mencapai sekitar 600 juta ton CO₂, walaupun emisi per kapita-nya cuma sekitar 2 ton, 

4. Peta Emisi antar Provinsi

Nggak semua daerah sama, rata-rata nasional mungkin 3,4 ton CO₂e per kapita, tapi ada provinsi ekstrem seperti Kalimantan Timur yang mencapai 13,8 ton, sementara Nusa Tenggara Timur lebih rendah di sekitar 2 ton. Ini ngebuka pandangan bahwa strategi keberlanjutan harusnya juga regional, bukan one-size-fits-all. 

Regulasi Carbon Footprint di Indonesia

Setelah ngerti kondisi carbon footprint di Indonesia, berikutnya logis buat tanya: regulasinya apa sih? Biar brand gak cuma paham situasi, tapi juga  gimana aturan mainnya yang wajib dipatuhi.

1. Perpres Nilai Ekonomi Karbon (NEK) – Perpres Nomor 98/2021

Aturan ini jadi payung buat menerapkan karbon pricing dan perdagangan karbon, termasuk harga karbon (NEK), skema cap-and-trade, offset, dan bahkan pungutan karbon. Itu artinya, bisnis bisa kena biaya atau justru kecipratan peluang finansial jika bisa ngelola jejak emisi.

2. Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) oleh OJK

OJK merilis edisi kedua TKBI pada Februari 2025 sebagai panduan aktivitas ekonomi yang eligible untuk pendanaan hijau. Dokumen ini membantu pelaku keuangan dan brand memahami sektor mana yang dianggap “sustainable”.

3. Inisiatif Bursa Karbon dan Target Net-Zero

Mengutip Reuters, Indonesia sudah bikin bursa karbon domestik dan membuka penjualan carbon credit untuk proyek energi ke pembeli asing sejak Januari 2025. Pemerintah juga menetapkan target net-zero emisi, dengan optimisme bisa dicapai sebelum tahun 2050.

Dampak Carbon Footprint terhadap Bisnis

Setelah bahas regulasi, kita lanjut bahas gimana dan apa saja dampak carbon footprint terhadap bisnis sehari-hari? 

Harap tahu Crepanity, dikutip dari DHL Discover Indonesia, carbon footprint ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi bisa bikin reputasi brand goyah, biaya compliance membengkak, sampai akses ke pendanaan makin susah. So, yuk pahami betul-betul dampaknya.

1. Reputasi Merek dan Loyalitas Konsumen

Carbon footprint yang tinggi bisa merusak citra brand, apalagi di mata konsumen muda yang makin peduli keberlanjutan. Brand yang serius ngurangin carbon footprint biasanya lebih dipercaya dan loyalitas konsumennya juga lebih kuat.

2. Biaya Regulasi dan Pajak Karbon

Regulasi makin ketat bikin carbon footprint langsung berdampak ke ongkos bisnis. Pajak karbon, sanksi, atau biaya tambahan lain bisa bikin arus kas terganggu kalau perusahaan nggak segera menekan carbon footprint mereka.

3. Akses Pendanaan dan Investasi

Investor global dan lokal makin selektif. Perusahaan dengan carbon footprint yang jelas dan strategi pengurangannya dianggap lebih sustainable, sehingga lebih gampang dapat pendanaan. Sebaliknya, carbon footprint tinggi bisa bikin brand terlihat berisiko.

4. Efisiensi Operasional

Carbon footprint sering jadi indikator kalau ada pemborosan energi atau proses yang nggak efisien. Saat perusahaan menurunkan carbon footprint, biasanya biaya listrik, bahan bakar, dan operasional juga ikut turun, jadi win-win antara planet dan profit.

Strategi Mengurangi Carbon Footprint

Regulasi dan angka sudah nunjukin problemnya; sekarang yang penting adalah tindakan operasional nyata yang memang efektif menurunkan carbon footprint perusahaan. 

Dikutip dari review penelitian Geng dkk. (2024), berikut strategi praktis dan teruji yang bisa langsung diimplementasikan oleh brand dan tim operasional.

1. Efisiensi Energi yang Mudah Dilacak

Mulai dari hal kecil kayak ganti lampu ke LED, atur suhu AC biar nggak over-cool, sampai ngecek peralatan kantor atau mesin produksi yang udah boros energi. 

Audit energi bisa bantu lihat titik mana yang paling banyak makan listrik. Semakin efisien, semakin kecil carbon footprint tanpa bikin operasional jadi ribet.

2. Pakai Energi Terbarukan

Kalau mau lebih serius, bisnis bisa pasang panel surya di atap pabrik atau gedung, atau pilih paket listrik hijau dari penyedia energi. Alternatif lain, beli sertifikat energi terbarukan (REC) untuk nunjukin komitmen. 

Semua opsi ini bikin carbon footprint dari konsumsi listrik turun signifikan, sambil nunjukin brand kamu visioner.

3. Elektrifikasi Armada dan Proses

Kendaraan operasional berbasis bensin atau solar bisa diganti pelan-pelan dengan EV. Begitu juga peralatan lama bisa di-upgrade ke teknologi berbasis listrik yang lebih efisien. Kalau sumber listriknya udah ramah lingkungan, otomatis carbon footprint bakal turun drastis. Plus, perawatan EV biasanya lebih murah dibanding kendaraan konvensional.

4. Kurangi Jejak dan Rantai Pasok

Jangan lupa, sebagian besar emisi bisnis sering datang dari supplier. Caranya? Mulai mapping rantai pasok, kasih standar emisi, dan dorong supplier buat transparan soal jejak karbon mereka. 

Supplier yang berhasil menurunkan carbon footprint bisa diberi prioritas atau insentif. Strategi ini nggak cuma nurunin angka emisi, tapi juga bikin rantai pasok lebih resilient.

5. Desain Ulang Proses & Produk

Pikirkan dari awal: bahan baku apa yang paling boros emisi? Kemasan bisa diganti yang lebih ramah lingkungan? Produk bisa didesain biar lebih awet, modular, atau gampang diperbaiki? 

Semua perubahan kecil ini bisa menekan carbon footprint produk dari hulu ke hilir, sekaligus memangkas biaya material jangka panjang.

6. Pertimbangkan Harga Karbon dalam Keputusan

Beberapa perusahaan global udah mulai pakai “harga karbon bayangan” (shadow carbon price). Maksudnya, setiap investasi atau proyek baru dihitung juga dampak emisinya. 

Dengan begitu, strategi bisnis nggak cuma dilihat dari profit, tapi juga risiko carbon footprint tinggi di masa depan, apalagi kalau pajak karbon makin ketat.

7. Ukur, Lapor, dan Tetapkan Target

Nggak bisa improve kalau nggak tahu baseline. Jadi, ukur carbon footprint dengan standar global kayak GHG Protocol, laporkan hasilnya secara transparan, lalu bikin target pengurangan yang terukur. Transparansi ini bikin bisnis lebih dipercaya investor, pelanggan, bahkan regulator.

8. Offset untuk Sisa Emisi

Kalau udah maksimal ngurangin emisi tapi masih ada sisa (misalnya dari penerbangan bisnis atau produksi tertentu), bisa ditutup dengan offset. Misalnya ikut proyek reboisasi, konservasi hutan, atau energi terbarukan. 

Tapi catatan penting: offset itu solusi terakhir, bukan alasan buat males nurunin carbon footprint dari awal.

Simpulan

Sekarang makin kelihatan kan, kalau carbon footprint itu faktor strategis yang bisa nentuin masa depan bisnis kamu. Biar gampang diingat, ini highlight penting yang tadi kita bahas:

  • Carbon footprint adalah total jejak emisi yang ditinggalkan dari aktivitas bisnis sehari-hari.
  • Penyebabnya beragam: dari energi, transportasi, produksi, sampai rantai pasok global.
  • Cara ngitungnya bisa sistematis: identifikasi aktivitas, kumpulkan data, pakai faktor emisi, lalu interpretasi hasil.
  • Kondisi di Indonesia udah serius, ada regulasi kayak Perpres Nilai Ekonomi Karbon dan bursa karbon domestik.
  • Dampak carbon footprint ke bisnis nyata: reputasi, regulasi, akses pendanaan, sampai efisiensi operasional.
  • Ada banyak strategi buat ngurangin jejak karbon, dari efisiensi energi, pakai energi terbarukan, sampai desain produk yang lebih sustainable.

 

Nah, kalau brand kamu lagi cari partner digital marketing yang bisa nge-branding bisnismu agar dikenal target konsumen sebagai bisnis ramah lingkungan, Crepanion tentu bisa jadi jawabannya. 

Di Crepa, kita bukan sekadar eksekutor campaign, tapi partner strategis yang mikirin relevansi jangka panjang untuk brand kamu. Mulai dari social media management, crowdsourcing, sampai influencer marketing, semuanya kita kemas biar nyambung sama narasi besar go green dan tren global.

Jadi gimana, Crepanity? Siap scale-up bareng Crepanion dan bikin brand kamu tahan banting di masa depan? Klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah, and let’s talk strategy!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *