

Kali ini, Crepanion mau kasih satu announcement serius ke Crepanity, terutama buat kamu yang pegang bisnis atau brand. Dalam beberapa tahun ke depan, tantangan terbesar bisnis ternyata bukan lagi sekadar perubahan pasar. Melainkan fenomena climate change, yang kini pelan-pelan menggerus fondasi ekonomi global.
Hari ini, mungkin dampaknya belum terasa langsung ke bisnis kamu. Tapi percaya atau tidak, masalah climate change ini efeknya bisa ke mana-mana. Supply chain terganggu karena cuaca ekstrem, bahan baku bisa makin langka, harga meroket, sampai akhirnya konsumen yang mau nggak mau harus menahan daya belinya.
Oke, mungkin di sini Crepanion terkesan berasumsi aja, ya. Tapi mari baca artikel ini sampai tuntas. Crepanion akan tunjukkan apa dampak riil climate change pada ekonomi global, kenaikan harga pangan, risiko supply chain, berikut solusinya. Tentu, berdasarkan data yang sudah Crepanion kumpulkan.
Dampak Cliamte Change pada Ekonomi Global
Seperti Crepanion katakan di awal, climate change ini berdampak pada ekonomi global. Bahkan berdasarkan Global Risks Report 2025 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF), climate change udah masuk ke daftar risiko paling krusial yang bisa mengguncang stabilitas ekonomi dunia. Berikut uraian lengkapnya:
1. Lonjakan Risiko Cuaca Ekstrem
WEF menempatkan extreme weather events (banjir, gelombang panas, atau kebakaran hutan) sebagai salah satu risiko terbesar 10 tahun ke depan. Bahkan, lebih dari 80% responden global menganggap risiko ini akan “sangat serius” dalam dekade mendatang. Terus apa efeknya ke bisnis?
Pertama, distribusi barang jadi tersendat, pasti ini. Kedua, ongkos logistik jadi melambung. Dan terakhir, bisnis bisa keteteran menjaga operasional agar tetap stabil.
2. Krisis Pangan Global
Dampak kedua, cuaca ekstrem yang dipicu climate change ini, tidak bisa tidak, pasti berdampak langsung ke sektor pertanian. Produksi pangan bisa drop, distribusi jadi terhambat, dan harga pangan global pun sudah pasti ikut naik.
Buat bisnis, ini berarti biaya bahan baku meroket, sementara daya beli konsumen, ya, makin sudah tentu melemah. Jadi bayangin, margin bisnis ternyata bisa kepotong tajam hanya karena faktor cuaca yang makin nggak bisa diprediksi .
3. Inflasi dan Tekanan Ekonomi
Kemudian, efek domino dari naiknya harga pangan dan energi adalah inflasi yang makin sulit dikontrol. Laporan WEF juga mencatat lebih dari 50% responden percaya climate change akan memperburuk instabilitas ekonomi global dalam jangka panjang.
Dari situ, secara eksplisit pebisnis jelas nggak bisa santai, karena daya beli konsumen makin rapuh, sementara biaya produksi dipaksa jalan terus.
4. Biaya Adaptasi yang Makin Berat
Lalu apakah tidak ada solusi dari masalah itu? Tentu ada. Biar bisnis bisa bertahan, adaptasi jadi kata kuncinya. Nah masalahnya, adaptasi juga butuh investasi besar: dari infrastruktur tahan bencana, diversifikasi rantai pasok, sampai transisi ke energi lebih bersih.
Makanya, kalau bisnis nggak mulai aware dari sekarang, biaya adaptasi di masa depan bisa lebih mahal daripada biaya kerusakan yang ditanggung.
Risiko Bisnis: Supply Chain sampai Investor
Sekarang mari geser fokus ke risiko nyata di level bisnis. Masih mengutip Global Risks Report 2025 dariWEF, climate change bukan cuma isu lingkungan, tapi faktor yang bikin rantai pasok, biaya operasional, sampai strategi investor berubah drastis. Kok bisa? Berikut rinciannya:
1. Supply Chain Jadi Risiko Keuangan Langsung
Gangguan rantai pasok akibat cuaca ekstrem sekarang udah bukan lagi isu “sampingan”. Buat bisnis, climate change ini bisa menciptakan keterlambatan pengiriman, biaya logistik melonjak, dan bahkan kehilangan pelanggan.
WEF menekankan kalau risiko supply chain disruption makin nyata, terutama di industri yang sangat bergantung pada distribusi lintas negara.
2. Biaya Adaptasi Tekan Keuangan Perusahaan
Adaptasi iklim nggak gratis. Perusahaan harus keluar biaya buat infrastruktur tahan bencana, diversifikasi pemasok, sampai audit ESG (Environmental, Social, Governance). ESG sendiri sederhananya adalah, kemampuan perusahaan untuk tangguh secara perubahan iklim.
Menurut Reuters, tanpa adaptasi, kerugian global bisa tembus US$1,2 triliun per tahun sampai 2050. Ironisnya, investasi adaptasi saat ini masih kurang dari 10% dari total climate finance global.
3. Investor Ubah Arah Strategi
Tekanan climate change bikin investor makin selektif. Bloomberg melaporkan riset JPMorgan bahwa investasi ke sektor adaptasi (atau weather resilience) bisa kasih return 13,5% lebih tinggi dibanding strategi konvensional.
So, perusahaan yang udah switch ke strategi ESG, akan potensi dilirik investor. Kenapa? Ya kaarena perusahaan yang lebih tangguh secara iklim dianggap punya prospek jangka panjang lebih aman.
4. Peluang Baru: Climate Investing
Jangan salah, risiko ini juga jadi ladang peluang. Data Reuters nunjukin, setiap US$1 yang diinvestasikan untuk adaptasi bisa ngasih return US$2 sampai US$43. Contohnya, pasar perumahan tahan iklim di AS udah berkembang pesat, bahkan 73% pemilik rumah rela bayar lebih untuk properti yang tahan cuaca ekstrem.
Biaya Adaptasi vs. Biaya Kerusakan: Mana yang Lebih Mahal?
Setelah tadi kita bahas risiko supply chain sampai investor, sekarang waktunya ngomongin angka yang paling bikin pebisnis mikir dua kali: biaya.
Masih berdasarkan Global Risks Report 2025 (WEF), adaptasi iklim memang menuntut investasi besar. Tapi kalau dibandingkan dengan kerugian akibat kerusakan, hasilnya jelas: kerusakan jauh lebih mahal.

1. Biaya Adaptasi
Adaptasi terhadap climate change mencakup banyak hal: bangun infrastruktur tahan bencana, diversifikasi pemasok, transisi energi, sampai implementasi standar ESG. Menurut WEF, skala biayanya bisa tembus ratusan miliar dolar per tahun hingga 2030.
Meskipun kelihatannya besar, biaya ini sifatnya masih bisa diprediksi dan direncanakan, sehingga perusahaan punya kontrol penuh terhadap strategi adaptasi yang diambil.
2. Biaya Kerusakan
Kalau bisnis memilih “diam saja”, dampaknya jauh lebih berat. Reuters (2025) mencatat bahwa tanpa adaptasi, kerugian global bisa mencapai US$1,2 triliun per tahun hingga 2050. Biaya ini muncul dari supply chain yang macet, operasional terhenti, hingga hilangnya pasar akibat konsumen menahan belanja.
Berbeda dengan adaptasi, biaya kerusakan ini sifatnya liar, tak terduga, tak terkendali, dan bisa langsung menghantam reputasi serta cash flow perusahaan
Jadi, meski adaptasi itu mahal di awal, kerusakan akibat climate change bakal jauh lebih bikin rugi. Apalagi data menunjukkan setiap US$1 untuk adaptasi bisa balik jadi US$2–43 manfaat ekonomi. Artinya, adaptasi bukan sekadar biaya tambahan, tapi investasi strategis untuk masa depan bisnis.
Apa yang Bisa Dilakukan Bisnis dan Individu?
Udah cukup ngomongin soal risiko dan biaya, sekarang waktunya move ke hal yang lebih actionable: apa yang bisa bisnis dan individu lakukan biar nggak cuma survive, tapi juga siap tumbuh di era climate change.
Dilansir Bloomberg.com, Greg Wasserman, manajer investasi dari Wellington Management yang mengelola lebih dari US$1 triliun aset, climate investing bukan lagi tren hijau-hijauan semata, tapi strategi bisnis yang makin jelas di 2025. Crepanion uraikan lebih jelasnya di bawah:
1. Investasi Adaptasi Itu Mauk Akal
Adaptasi memang butuh modal, tapi jauh lebih murah dibanding kerusakan yang bisa terjadi. WEF udah menekankan bahwa adaptasi adalah bentuk proteksi jangka panjang: mulai dari infrastruktur tahan bencana, diversifikasi rantai pasok, sampai digitalisasi operasional.
2. Jadikan ESG sebagai Standar, Bukan Pemanis
ESG (Environmental, Social, Governance) sekarang udah jadi “ticket to play” di mata investor global. Bloomberg mencatat, aset berbasis ESG bisa tembus US$53 triliun di 2025, dan perusahaan yang abai soal ini otomatis keliatan lebih riskan.
3. Beralih ke Digital dan Energi Bersih
Menurut laporan Bloomberg NEF, investasi transisi energi global udah tembus US$2,1 triliun di 2024. Tapi, untuk capai target net-zero, dunia butuh rata-rata US$5,6 triliun per tahun sampai 2050. Artinya, ada ruang besar buat bisnis yang berani switching ke energi terbarukan atau digitalisasi efisiensi energi.
Simpulan
Itulah pembahasan lengkap soal bagaimana climate change jadi tantangan besar untuk dunia bisnis, mulai dari ekonomi global sampai level individu. Supaya makin jelas, yuk kita rekap poin-poin penting yang tadi udah kita bedah:
- Dampak globalnya nyata: cuaca ekstrem, krisis pangan, inflasi, dan biaya adaptasi bikin stabilitas ekonomi dunia makin rapuh.
- Risiko bisnis makin kompleks: dari supply chain yang gampang goyah, biaya adaptasi yang menekan, sampai investor yang makin ketat dengan standar ESG.
- Biaya adaptasi vs kerusakan: adaptasi memang butuh modal besar, tapi kerugian dari climate change bisa tembus US$1,2 triliun per tahun kalau nggak ada langkah antisipasi.
- Aksi nyata bisa dimulai sekarang: bisnis dan individu bisa beradaptasi lewat investasi adaptasi, integrasi ESG, kolaborasi strategis, dan transisi energi bersih.
Nah, kalau brand kamu lagi butuh partner digital marketing yang nggak cuma ngerti bikin campaign keren tapi juga mikir strategi jangka panjang, ya Crepanion jawabannya. Mulai dari social media management, crowdsourcing, sampai influencer marketing, Crepa siap bantu kamu scale up dengan cara yang relevan dan impactful.
Tenang aja, di Crepa kamu nggak cuma dapat eksekusi, tapi juga dapet partner sejati buat tumbuh bareng. Karena sejak awal, kami pegang tiga prinsip utama:
- Ownership: setiap proyek kami anggap seolah brand kamu adalah brand kami.
- Agile: kami gesit adaptasi dengan segala perubahan pasar & kebutuhan kamu.
- Risk-Based Thinking: setiap strategi selalu kami pikirkan risikonya sejak awal.
Jadi gimana, Crepanity? Siap scale-up bareng Crepanion? Klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah dan let’s talk strategy!