

Salah satu drama yang sering dialami sebuah brand adalah soal perencanaan produk. Produknya udah keliatan menjanjikan, seolah cocok buat audiens, tapi pas dilempar ke pasar, ternyata responsnya datar. Kalau kamu pernah ngalamin ini, coba deh kenalan sama jobs to be done framework.
Soalnya, produk yang gagal di pasar itu biasanya bukan karena idenya jelek, tapi karena insight-nya yang dangkal. Brand buru-buru eksekusi tanpa benar-benar ngerti, apa sih motivasi orang saat beli. Dan di sinilah jobs to be done framework bisa mengatasinya.
Nah di artikel ini, kita bakal belajar sama-sama secara lengkap gimana jobs to be done framework bisa bantu kamu decoding kebutuhan real customer, dari teori sampai praktiknya. Baca sampai akhir ya, biar nggak ada insight yang kelewatan.
Pengertian Jobs To Be Done Framework
Pengertian jobs to be done ini sederhana. Mengutip Product Board, jobs to be done framework adalah pendekatan yang bantu brand memahami alasan terdalam kenapa orang beli produk. Bagaimana produk itu bisa bisa bantu user buat menyelesaikan tugasnya.
Contoh konkretnya: orang beli blender A sebenarnya bukan karena suka alat dapur, tapi karena pengen hidup sehat dan bikin smoothies tiap pagi. Jadi fokusnya bukan pada produk, tapi pada job yang ingin dicapai user lewat produk tersebut. Oke, klir ya?
Perbedaan Jobs To Be Done vs. User Persona
Sampai sini, sebagian dari Crepanity mungkin bingung: lalu apa bedanya konsep jobs to be done dengan user persona?
Oke, biar kebayang jelas, silakan Crepanity intip tabel perbandingan singkatnya dulu di bawah ini.

Nah, sekarang kita bedah lebih dalam, biar kamu makin paham kenapa dua pendekatan ini bisa kasih insight yang beda banget saat bikin strategi produk atau marketing. Berikut Crepanion kutip dari Nielsen Norman Group:
1. Fokus Insight: Motivasi vs. Identitas
- Jobs to be Done Framework: Ngulik soal kenapa user ngelakuin sesuatu. Fokusnya lebih ke motivasi, goal, dan problem yang mau diselesain.
- User Persona: Fokus ke siapa user kamu. Biasanya mencakup nama, usia, pekerjaan, hobi, dan info demografis lainnya.
2. Cara Pandang: Situasi vs. Profil
- Jobs to be Done Framework: Ngeliat konteks dan situasi; kapan, di mana, dan kenapa user butuh solusi tertentu.
- User Persona: Lebih banyak deskripsi profil user, kadang disertai kutipan dan background yang disusun dari asumsi.
3. Tujuan: Segmentasi vs. Solusi
- Jobs to be Done Framework: Dipakai buat nyari solusi yang relevan buat kebutuhan user berdasarkan “job” yang mau mereka selesaikan.
- User Persona: Cocok buat bikin segmentasi audiens dan menyusun pesan marketing berdasarkan karakteristik user.
4. Pendekatan: Lintas Demografi vs. Spesifik Profil
- Jobs to be Done Framework: Satu “job” bisa dirasakan oleh user dari berbagai latar belakang, usia, atau industri.
- User Persona: Biasanya lebih spesifik ke satu jenis user yang mewakili target audiens secara demografis atau psikografis.
5. Basis Data: Nyata vs. Fiksi Parsial
- Jobs to be Done Framework: Dibangun dari riset perilaku user secara real, nggak pakai asumsi atau data yang direkayasa.
- User Persona: Kadang fiksi sebagian pakai nama palsu, quotes buatan, bahkan foto stok buat visualisasi karakter.
Komponen Jobs To Be Done Framework
Sebelum nerapin jobs to be done framework, kamu perlu paham komponen di dalamnya. Karena waktu user pakai produk kamu, mereka sebenarnya nggak cuma ngejar hasil akhir. Ada proses, ada fungsi, dan ada emosi yang ikut main. Lihat gambar di bawah sebagai gambarannya.

Nah, biar kamu lebih mudah buat nge-bedah semua lapisan itu, berikut Crepanion uraikan komponen jobs to be done framework dikutip dari Product Board.
1. Main Job To Be Done
Main job adalah hasil akhir yang user pengen capai dengan memakai produk kamu. Contohnya bisa sesimpel: “menyewa tempat liburan” atau “mengatur jadwal kerja”. Ini clear, goal-oriented, dan jadi alasan kenapa produk tertentu dibutuhkan.
2. Functional Apects
Aspek ini ngulik apa aja tugas-tugas praktis yang harus dilakukan untuk nyelesain job-nya. Misalnya: cari tempat, bandingkan harga, pilih tanggal, konfirmasi pemesanan. Ini insight buat UX dan fitur produk.
3. Emotional Aspects
Di sini kita masuk ke ranah yang lebih dalam; emosi yang dirasain user saat menyelesaikan job-nya. Ada dua jenis emosi yang ada dalam jobs to be done framework:
- Personal dimension: perasaan pribadi kayak “tenang”, “puas”, atau “nggak overwhelmed”.
- Social dimension: persepsi orang lain, misalnya “terlihat kompeten”, “dianggap keren”, atau “diakui secara sosial”.
Cara Menerapkan Jobs To Be Done Framework
Sekarang kita sampai di bagian yang ditunggu-tunggu, yaitu cara menerapkan jobs to be done framework. Masih mengutip Product Board, berikut step by step menerapkan JTBD framework:
1. Tentuin Segemn Pengguna ynag Mau Dilirik
Jangan kejar semua user. Fokus ke satu segmen yang paling strategis dulu. Misalnya user yang paling aktif, user yang baru onboarding, atau bahkan user yang cabut. Segmen ini nantinya jadi fondasi buat semua riset JTBD kamu.
2. Rinciin Tugas Utama Mereka
Tanya diri kamu (dan user): sebenernya mereka pengen nyelesain masalah apa sih? Di sini kamu jangan kejebak di fitur dulu. Fokuslah ke job-nya. Misalnya: “Biar saya bisa koordinasiin tim tanpa ribet, walau WFH.” Ini contohnya: simple, tapi konteksual.
3. Kenalin Siapa yang Ngerjain Jobs-nya
Kadang decision maker ≠ user utama. Yang bayar bisa manager, tapi yang make tiap hari bisa tim admin. Nah, karenanya, kamu harus paham siapa eksekutornya biar nggak salah target saat bikin solusi atau campaign.
4. Pahami Konteks saat Job Itu Dilakukan
User nggak ngejalanin job di ruang hampa. Ada kondisi, tools lain yang dipakai, mood, bahkan lokasi. Misalnya: “saya ngecek laporan sambil di commuter line.” Kenapa ini penting? Karena untuk jadi bahan pertimbangan saat merencanakan desain produk dan prioritas fitur.
5. Bedah Apa Aja yang Mendorong & Menahan Perubahan
Perubahan itu nggak pernah datang dari satu arah. User bisa aja ngerasa butuh solusi baru, tapi belum tentu langsung pindah. Di sinilah kamu mesti paham empat kekuatan utama yang mempengaruhi keputusan mereka:
- Push (dorongan dari masalah saat ini). Ini rasa frustrasi yang bikin user mulai nyari alternatif. Misalnya: tools lama sering error, laporan selalu delay, atau UI-nya ribet banget.
- Pull (tarikan dari solusi baru). Ini daya tarik dari solusi kamu. Bisa karena tampilannya fresh, fitur lebih lengkap, atau testimoni bagus. Semakin kuat pull-nya, semakin besar kemungkinan mereka tertarik pindah.
- Anxiety (kekhawatiran saat pindah). Meski tertarik, user pasti punya rasa ragu. “Nanti datanya bisa pindah nggak ya?”, “Takut tim gue nggak adaptasi”. Anxiety ini bisa jadi penghambat meski solusi kamu udah keren.
- Inertia (kenyamanan di status quo). Kadang user males ribet. Mereka mikir, “yang penting masih bisa jalan lah”. Ini faktor yang sifatnya pasif, tapi kuat. Kalau kamu nggak bisa nunjukkin benefit yang lebih worth, mereka bakal stay di solusi lama.
6. Gali Apa Hasil Ideal dari User
Setiap job punya target akhir yang user pengen capai. Bukan cuma “berhasil” secara fungsional, tapi juga secara emosional: bisa lega, bisa tenang, atau bisa merasa keren. Hasil ini bisa jadi kompas buat positioning dan fitur produk yang kamu bangun.
7. Review Solusi yang Mereka Pakai Sekarang
Cek tools, proses, atau life hack yang mereka udah pakai. Termasuk kompetitor kamu. Ini membantu kamu tahu benchmark mereka, dan area mana yang bisa kamu kalahin. Misal dari UX, fitur, atau emotional value.
8. Temuin Celah yang Belum Tersentuh
Dari situ, kamu bisa lihat titik frustrasi atau kebutuhan yang belum dilayani. Inilah peluang emas buat inovasi produk brand kamu. Bisa jadi fitur baru, pendekatan UX fresh, atau bahkan solusi total yang out of the box.
9. Siapkan Strategi biar User Mau Berubah
Harap diingat, nggak semua user itu bisa langsung pindah solusi meski mereka tertarik. Maka, kamu perlu bantu mereka adaptasi. Caranya bisa lewat onboarding interaktif, edukasi konten, integrasi dengan tool lama, atau bahkan program transisi biar friksi makin minim.
10. Uji Coba dan Validasi, Jangan Asal Feeling
Langkah terakhir: jangan anggap semua asumsi itu valid. Tes dulu. Bisa lewat prototipe, MVP, user interview, atau experiment kecil. Validasi ini ngejaga kamu biar nggak buang-buang waktu dan budget ke hal yang nggak proven. Oke?
Simpulan
Itulah penjelasan lengkap tentang jobs to be done framework. Jadi, buat kamu yang selama ini bikin produk berdasarkan insting, persona, atau trend semata, sekarang saatnya switch mindset. Karena dengan JTBD, kamu bisa bangun solusi yang relevan, berdampak, dan beneran nyambung sama kebutuhan real user.
Biar lebih gampang dicerna, nih rangkuman poin-poin penting yang udah kita bahas:
- Apa itu Jobs to be Done Framework? Cara memahami user berdasarkan “tugas” yang mereka pengen selesaikan, bukan semata profil demografis.
- Perbedaannya sama user persona: JTBD fokus ke motivasi & konteks; persona fokus ke siapa user kamu.
- Komponennya: Main job, aspek fungsional, dan aspek emosional (personal & sosial).
- Cara menerapkannya: Mulai dari identifikasi segmen user, pahami konteks, gali motivasi, sampai validasi insight lewat riset dan testing.
Nah, kalau brand kamu lagi butuh partner digital marketing yang nggak cuma jago eksekusi tapi juga mikir strategi bareng, ya Crepanion jawabannya.Mulai dari crowdsourcing, social media management, sampai influencer marketing, Crepanion siap bantu kamu scale up secara relevan dan impactful.
Tenang aja, di Crepa kamu nggak cuma dapat eksekusi kampanye yang keren, tapi juga dapet mitra sejati buat tumbuh bareng. Karena sejak awal, kami pegang tiga prinsip utama:
- Ownership: Setiap proyek kami tangani seolah brand kamu adalah brand kami.
- Agile: Kami gesit dan siap adaptasi dengan segala perubahan pasar & kebutuhan kamu.
- Risk-Based Thinking: Kami selalu pertimbangkan risiko dalam setiap langkah strategi.
Jadi gimana, Crepanity? Siap scale-up bareng Crepanion? Klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah ya kalau kamu pengen ngobrol langsung sama kami!