#StressLessEarnMore

Tantangan Bisnis FMCG: Tren dan Solusi Cerdas untuk CMO di Era Digital

Tantangan Bisnis FMCG
Tantangan Bisnis FMCG
Tantangan Bisnis FMCG

Dear para Chief Marketing Officer, kamu udah tahu belum kalau tantangan bisnis FMCG sekarang bukan cuma soal distribusi atau campaign besar-besaran? Sekarang, konsumen itu makin terfragmentasi, dan mereka pengen semuanya serba personal. Jadi strategi lama ya udah nggak bisa diandelin lagi. 

Kalau menurut laporan Deloitte, brand FMCG tahun ini diperkirakan bakal fokus mengatur ulang portofolio dan perkuat kapabilitas buat mengikuti demand pasar yang makin kompleks. Artinya, siapa yang ngerti kebutuhan konsumen, maka dialah yang bakal pegang kendali.

Tapi apakah cuma itu tantangannya? Jelas nggak. Makanya di artikel ini, kita bakal bedah kenapa tantangan bisnis FMCG makin rumit, apa aja masalah nyatanya, gimana strategi yang bisa kamu andalkan, sampai studi kasus brand besar yang berhasil di era digital.

Kenapa Bisnis FMCG Semakin Kompleks di 2025?

Dulu, industri FMCG masih kelihatan simpel: bikin produk, distribusi, repeat. Tapi di 2025, landscape-nya udah nggak sesederhana itu. Kalau melansir Fhafnb.com, ada beberapa hal yang bikin trennya makin kompleks. Berikut di antaranya:

1. Konsumen Sekarang Punya Value Baru

Konsumen zaman sekarang udah nggak cuma cari “murah dan cepat.” Mereka mulai sadar kalau beli produk, harusnya juga berdasarkan nilai, bukan cuma fungsi. Di tahun 2025, konsumen mulai memerhatikan apakah bahannya lebih sehat, proses produksinya etis, sampai brand yang punya purpose. 

Maka dari situ, brand harus paham “meaning” di balik pembelian, bukan cuma anggap customer sebagai target pasar.

2. Digital sebagai Medan Perang

Digitalisasi udah jadi “default setting” untuk FMCG. Sebab kini udah tak bisa dimungkiri kalau konsumen browsing, belanja, sampai komplain semua lewat online. 

Maka brand yang belum siap masuk e-commerce atau masih ngandelin strategi iklan TV doang, siap-siap aja “kegilas”. Game-nya sekarang udah berubah ke omnichannel dan data-driven personalization.

3. Demand Personalisasi Makin Menjadi-jadi

Konsumen sekarang hidup dengan algoritma, yang menuntun mereka menemukan sesuatu berdasarkan keinginan bahkan kebutuhannya. Maka wajar jika sekarang konsumen makin expect semua hal itu “cocok buat gue.” 

Nah, kalau kamu masih pakai campaign one-size-fits-all, aduh, itu kayak nembak sasaran pakai kacamata renang, beneran. Jadinya nggak fokus, dan nggak nyampe ke mereka. Di 2025, siapa yang ngerti customer sampai level mikro, dialah yang bakal mendapat loyalitas.

4. Sustainability Bukan Lagi Opsi, tapi Ekspektasi

Sekarang, konsumen juga mulai nanya: “Produk kamu ramah lingkungan nggak?” dan itu bukan cuma gimmick. Mereka memang makin peduli soal supply chain, emisi karbon, dan kemasan. Kalau brand-mu cuek sama ekspektasi ini, ya pelan-pelan bakal ditinggal mereka.

3 Tantangan Bisnis FMC Paling Besar saat Ini

Kalau udah tahu kompleksitasnya, sekarang saatnya masuk ke tantangan riil yang dihadapi para CMO atau decision maker di FMCG. Sebenarnya tantangannya juga nggak baru-baru amat, tapi tetap jadi makin relevan dan menantang di 2025.

Masih mengutip situs Fhfnb.com, inilah tantangan bisnis FMCG yang dimaksud:

1. Menangkap Perubahan Konsumen yang Semakin Dinamis

Seperti Crepanion bilang di awal, perilaku konsumen sekarang itu amat sangat dinamis. Hari ini suka oat milk, besok tiba-tiba udah pindah ke plant-based kefir. Ini wajar banget mengingat hari-hari mereka terpapar banyak informasi.

Makanya, kecepatan perubahan selera konsumen bikin kamu harus punya agility selevel startup. Jadi tantangannya bukan cuma bagaimana riset pasar, tapi gimana brand bisa “stay relevant” di tengah tren yang cepet banget berubah.

2. Tekanan Bikin Brand Lebih Hijau

Karena konsumen makin vokal soal keberlanjutan, maka  tantangannya adalah, bagaimana bikin produk yang eco-friendly sambil tetap profitable. Di sinilah kamu membutuhkan strategi product development yang baru dan bisa diandalkan.

3. Ngatur Eksekusi Digital yang Nggak Asal Digital

Banyak brand sekarang udah punya Instagram atau e-commerce seperti Tokopedia. Nah tapi, masalahnya bukan cuma di situ, tapi bagaimana cara nge-balance paid ads, konten organik, sampai loyalty program digital. Belum lagi harus ngelola data konsumen dari berbagai channel.

Strategi dan Solusi Digital yang Relevan untuk CMO

Gimana? Bukan main kan, tantangan bisnis FMCG sekarang? Tapi nggak apa-apa. Dari kompleksnya tantangan tadi, ada beberapa jalan ninja yang bisa kamu ambil biar lebih mudah menghadapi.

Di bagian ini, Crepanion bakal ajak kamu ngulik strategi digital yang relevan. Dan tentu aja, semua tetap grounded pada insight dari berbagai sumber yang kredibel. Yuk, kita kulik sama-sama! 

1. Personalisasi yang Mendalam

Kita udah tahu kalau konsumen sekarang pengen produk yang bisa “ngerti” mereka secara personal. Nah, menurut Forbes.com, sebagai CMO FMCG, kamu harus memanfaatkan berbagai data seperti riwayat belanja, interaksi digital, sampai behavior mereka di media sosial. 

Kalau udah kamu kumpulkan, pelajarilah secara mendalam, seolah-olah kamu adalah juga mereka. Di situ kamu nanti bisa kasih experience yang lebih dekat, lebih relevan, dan pastinya lebih berpotensi untuk konversi.

2. Pemanfaatan Kecerdasan Buatan

Crepanion nggak tahu apakah brand-mu masih pakai cara manual buat segmentasi atau analisis perilaku konsumen. Tapi kalau masih, sekarang beneran segera tinggalkan. Kenapa?

Soalnya kalau kita lihat laporan McKinsey & Company, 70% perusahaan FMCG itu berencana ningkatin investasi mereka untuk AI. Bahkan jangka waktunya dalam 3-5 tahun ke depan. Ini memang wajar benget. 

Karena AI sekarang memang udah bisa bantu kamu bukan cuma untuk prediksi tren dan analisis perilaku konsumen, tapi juga buat otomatisasi campaign yang hyper-targeted. Jadi ya, kamu bisa hemat waktu, hemat budget, dan pastinya hasil yang didapat bisa jauh lebih presisi.

3. Optimalisasi Omnichannel

Crepanity wajib tahu, kalau konsumen sekarang saat nonton YouTube, sudah bisa tiba-tiba checkout di e-commerce. Artinya, brand kamu juga harus hadir di semua titik saluran digital, dan itu perlu konsisten.. 

Tapi harap diingat, strategi omnichannel ini bukan cuma soal brand kamu “ada di mana-mana”, tapi tentang menciptakan “alur pengalaman yang nyambung dan mulus” dari satu channel ke channel lain. Ini semata untuk memudahkan mereka dalam menemukan dan mendapatkan produkmu.

4. Penggunaan Data yang Bertanggung Jawab

Dari semua strategi yang Crepanion jelaskan di atas, dapat dipahami bahwa data konsumen adalah aset berharga. Tapi Pwc.com mengingatkan, di balik itu juga bisa jadi liability kalau kamu nggak hari-hati. 

Jangan salah lho ya, konsumen sekarang makin kritis soal privasi. Artinya di samping memanfaatkan data konsumen, brand kamu juga harus transparan, comply sama regulasi, dan bangun sistem pengelolaan data yang bersih.

Studi Kasus Campaign Digital Brand FMCG

Biar lebih kebayang, kamu bisa simak rangkuman dari Crepanion tentang studi kasus brand FMCG yang berhasil bikin campaign digital. Kamu bisa amati, tiru, dan modifikasi cara mereka untuk menghadapi tantangan bisnis FMCG 2025.

#1 Cussons Baby – Bikin “Hair Story” yang Nggak Cuma Soal Rambut

Brand FMCG yang pertama, ada Cussons Baby. Mengutip Fmcg.asia, perusahaan produk bayi ini bikin langkah yang super cerdas lewat kampanye “Hair Story”.

Mereka nggak cuma jualan sampo bayi, mereka juga nyiptain pengalaman digital yang nyambung banget sama concern para mama muda, yaitu rambut bayi yang halus, sehat, dan gampang diatur. Pertanyaannya, gimana cara Cussons Baby membuatnya?

Cussons menggabungkan beberapa jenis campaign. Mulai dari bikin microsite edukatif soal perawatan rambut bayi, masukin konten visual yang gemesin, dan kolaborasi sama parenting influencer. Dari situ, Cussons dapat 37 juta views, dan brand awareness-nya makin nempel di hati para mamak-mamak millennial. 

#2 Dabur Honey – Dari Lemari Dapur ke Feed Instagram

Yang kedua ada Dabur Honey, salah satu brand madu populer di Indonesia. Jadi, lewat #EverydayHoney, mereka ngajak orang-orang buat rayain momen kecil yang manis setiap hari, bukan cuma pas Valentine doang. Mereka pakai pendekatan storytelling lewat video pendek, kolaborasi sama influencer gaya hidup sehat, dan main di platform yang lagi naik daun. 

Menurut Bobo.video, kampanye ini ngebuktiin kalau FMCG itu tetap bisa jadi dekat banget sama audiens, selama ceritanya nyentuh dan dikemas fun. Engagement-nya pun nggak main-main, views-nya sampai ratusan ribu, dan interaksinya natural banget.

Crepanion Bisa Jadi Partner

Nah, kalau brand kamu butuh partner buat cari influencer yang pas kayak Cussons dan Dabur, Crepanion siap bantu. Dari nano sampai makro, kita bantuin cari yang klop sama tone dan value brand kamu.

Tapi ini bukan soal dapetin influencer doang lho ya. Kamu juga bakal dapet insight, storytelling, dan campaign yang bener-bener ngena. Karena buat kami, bantu brand itu kayak ngurus brand sendiri; emosional, relevan, dan sustain.

Itulah kenapa prinsip kami selalu berangkat dari ownership, gerak lincah & adaptif (agile), dan mikir strategis pakai pendekatan risk-based thinking. Jadi bukan asal jalan, tapi bareng-bareng mikirin langkah yang impactful buat brand kamu. Gimana? Tertarik buat grow bareng? Langsung aja klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah di bawah ya!

Simpulan

Begitulah penjelasan tentang tren dan strategi bisnis FMCG di era digital. Ya mau gimana lagi, namanya berbisnis, ya harus siap terus beradaptasi sama perubahan konsumen dan medan perangnya. 

Biar nggak lupa dan bisa langsung kamu catat, berikut poin-poin penting yang sudah kita bahas di artikel ini:

  • Kenapa industri FMCG makin kompleks di era digital: dari perubahan perilaku konsumen sampai tekanan adaptasi digital yang makin tinggi.
  • Tiga tantangan terbesar bisnis FMCG: mulai dari demand yang makin segmented, perang harga, sampai kebutuhan buat go digital dengan strategi yang tepat.
  • Strategi & solusi digital untuk CMO: dari content personalization, influencer marketing, sampai penguatan data & teknologi.
  • Studi kasus sukses: Cussons dan Dabur Honey, dua brand yang berhasil menggabungkan storytelling, digital, dan empati dengan audiens.