Di artikel sebelumnya, kita sudah bahas gimana climate change bikin ekonomi global dan bisnis keteteran. Bagi yang belum baca, silakan baca di sini. Nah sekarang waktunya geser fokus: strategi apa yang bisa bikin bisnis tetap bertahan di tengah krisis iklim?
Karena kalau kita cuma sibuk menutup kerugian, tapi lupa bahwa risiko krisis iklim makin kompleks, bisnis kita nggak akan bisa bertahan lama. Di mana supply chain bisa terhenti sewaktu-waktu, aturan global soal emisi makin ketat, dan konsumen pun makin cerewet soal keberlanjutan.
That’s why, artikel ini bakal kasih peta jalan praktis. Kita akan bahas lima aspek penting, dari keuangan, operasional, inovasi, regulasi, sampai cara bangun kepercayaan konsumen. Semua ini bisa jadi playbook yang bisa langsung kamu pakai untuk hadapi tekanan krisis iklim.
Perkuat Fondasi Keuangan dan Manajemen Risiko
Seperti banyak pakar yang bilang, bahwa game pertama yang harus dimenangkan bisnis, dalam kondisi apa pun, ada di meja keuangan. Kalau fondasi finansial dan manajemen risiko nggak kokoh, jelas sulit banget buat survive, apalagi beradaptasi di tengah krisis iklim.
So, berikut beberapa hal-hal terkait keuangan dan manajemen risiko yang perlu kamu persiapkan:
1. Amankan Arus Kas dengan Proteksi Iklim yang Tepat
Salah satu pelajaran paling keras dari krisis iklim adalah betapa cepatnya bencana bisa melumpuhkan bisnis.
Menurut laporan World Economic Forum 2024, kerugian ekonomi global akibat bencana iklim diprediksi mencapai USD 314 miliar per tahun, terutama dari sektor infrastruktur, pertanian, dan energi. Angka ini nunjukkin betapa rapuhnya bisnis kalau nggak punya proteksi keuangan yang jelas.
Proteksi keuangan di sini bukan cuma soal asuransi, tapi juga diversifikasi dana darurat. Misalnya, alokasi khusus untuk pemulihan bencana, atau kontrak asuransi parametric (jenis asuransi yang langsung membayar klaim berdasarkan parameter kejadian, seperti curah hujan ekstrem atau gempa, tanpa survei kerugian panjang).
2. Lakukan Stress Test Iklim dan Skenario Keuangan
Kalau soal keuangan, jangan cuma puas dengan laporan laba rugi yang stabil. Bisnis juga perlu stress test iklim, yaitu simulasi bagaimana keuangan perusahaan bisa goyah kalau ada kejadian iklim ekstrem atau regulasi baru yang lebih ketat.
Menurut laporan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), banyak investor global kini menjadikan stress test iklim sebagai indikator kesiapan perusahaan. Artinya, kalau bisnis kamu bisa menunjukkan simulasi risiko dengan jelas, peluang mendapat kepercayaan pasar dan investor akan jauh lebih besar.
Selain itu, jangan lupa siapkan skenario keuangan. Misalnya, bagaimana arus kas berubah kalau harga energi naik drastis akibat transisi energi, atau kalau rantai pasok (supply chain) terganggu karena bencana iklim.
Bank of England bahkan menyarankan perusahaan agar melakukan skenario keuangan dengan tiga tingkat: ringan, sedang, dan berat. Tujuannya supaya manajemen bisa menyiapkan langkah mitigasi sejak awal.
3. Cari Sumber Dana Adaptasi yang Tepat
Adaptasi krisis iklim butuh modal yang nggak kecil. Nah, kabar baiknya, sumber dananya makin beragam, dan bukan cuma dari kas internal perusahaan. Di Indonesia, ada banyak pintu pendanaan yang bisa dimanfaatkan.
Contohnya, Green Climate Fund (GCF), mengutip Katadata Green, sudah menyalurkan miliaran dolar ke berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendukung proyek adaptasi krisis iklim. Dana ini bisa diakses lewat proposal yang terintegrasi dengan tujuan keberlanjutan perusahaan.
Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong pendanaan hijau lewat green bonds (obligasi hijau). Artinya, bisnis yang punya strategi keberlanjutan jelas, misalnya efisiensi energi atau supply chain rendah karbon, lebih mungkin dapat akses pendanaan dari bank atau investor lokal.
Buat UMKM, opsi lebih sederhana juga tersedia. Mengutip Bisnis.com, beberapa bank nasional seperti BRI dan BNI sudah mulai menyediakan skema kredit hijau. Bahkan ada program pendanaan adaptasi berbasis komunitas yang bisa jadi alternatif untuk sektor usaha kecil.
Intinya, kunci di sini bukan cuma cari modal, tapi cari modal yang match dengan agenda adaptasi krisis iklim. Karena kalau sekadar pinjam dana tanpa strategi hijau yang jelas, bisnis bisa dianggap berisiko lebih tinggi dan malah ditolak investor.
4. Rapikan Laporan Keberlanjutuan untuk Akses Modal
Investor sekarang makin picky. Mereka nggak cuma lihat neraca keuangan, tapi juga cara bisnis mengelola risiko krisis iklim. Nah, laporan keberlanjutan (sustainability report) jadi kartu nama penting untuk meyakinkan bank atau investor bahwa bisnis kamu serius menghadapi krisis iklim.
Mengutip laporan PwC Indonesia, tren ESG (Environmental, Social, Governance) makin jadi syarat standar dalam penyaluran kredit dan investasi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Artinya, bisnis yang punya laporan keberlanjutan rapi, dengan data emisi, efisiensi energi, atau manajemen limbah yang jelas, akan lebih dipercaya dan punya peluang akses modal lebih besar.
Di sisi regulasi, OJK juga sudah menerbitkan POJK No. 51/2017 tentang keuangan berkelanjutan, yang mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk menyusun laporan keberlanjutan tahunan.
Meskipun kewajiban ini baru berlaku untuk skala besar, trennya bisa nular ke sektor bisnis lain. Jadi, lebih cepat adaptasi, lebih aman kamu di mata investor.
5. Tetapkan KPI Finansial Iklim & Dana Cadangan
Masih mengutip World Economic Forum (2023), bisnis yang memasukkan metrik iklim ke dalam indikator finansialnya, misalnya persentase pengurangan emisi per unit pendapatan, efisiensi energi, atau biaya kerugian akibat bencana, lebih siap menghadapi guncangan ekonomi dibanding yang tidak.
Di Indonesia, Kementerian Keuangan juga sudah menekankan urgensi pembentukan climate budget tagging, alias pelabelan anggaran untuk program terkait krisis iklim.
Prinsip yang sama bisa diterapkan di level korporasi: siapkan dana cadangan khusus untuk risiko iklim, misalnya dana pemulihan pasca banjir, diversifikasi supply chain, atau investasi energi terbarukan.
Tanpa KPI dan cadangan dana ini, bisnis rentan terjebak dalam pola reaktif: baru bergerak setelah ada bencana atau kerugian. Padahal dengan indikator yang jelas dan buffer finansial yang siap, perusahaan bisa tetap stabil meskipun krisis iklim bikin pasar bergejolak.
Optimalkan Operasional dan Supply Chain
Kalau fondasi keuangan sudah aman, saatnya geser ke dapur operasional. Karena percuma punya cadangan modal besar, kalau rantai pasok (supply chain) gampang goyah tiap ada bencana iklim.
Nah, di bagian ini kita bakal bahas gimana cara optimalkan operasional biar supply chain kamu lebih adaptif, efisien, dan siap menghadapi tekanan krisis iklim.
1. Petakan Ulang Risiko di Rantai Pasok
Langkah awal buat bikin supply chain lebih tahan banting adalah ngerti dulu di mana titik rawannya. Jangan sampai bisnis jalan terus tanpa tahu ada bottleneck (hambatan kritis) yang bisa pecah kapan aja gara-gara krisis iklim.
Misalnya, ketergantungan pada satu pemasok bahan baku, jalur transportasi yang rawan banjir, atau gudang yang belum punya standar ketahanan cuaca ekstrem.
Mapping risiko ini nggak ribet kok, asalkan pakai framework yang jelas. Bisa mulai dengan supply chain risk assessment (identifikasi potensi risiko dan level dampaknya), lalu bikin daftar prioritas: risiko mana yang harus ditangani segera, mana yang bisa dikelola jangka panjang. Dengan begitu, kamu nggak cuma reaktif pas krisis datang, tapi juga proaktif dalam menyiapkan plan B.
2. Diversifikasi Suplier dan Lokasi Produksi
Salah satu pelajaran terbesar dari krisis iklim adalah jangan taruh semua telur di satu keranjang. Maksudnya, kalau bahan baku atau lini produksi cuma bergantung pada satu titik, bisnis bisa langsung kolaps begitu titik itu kena banjir, kebakaran hutan, atau aturan lingkungan baru.
Diversifikasi di sini nggak cuma soal punya lebih dari satu pemasok, tapi juga soal lokasi. Misalnya, kalau semua supplier kamu ada di satu wilayah rawan banjir, tetap aja berisiko tinggi. Idealnya, perusahaan bisa menyebar supplier di beberapa wilayah atau bahkan negara, biar ada cadangan jalur logistik saat satu jalur terganggu.
3. Gunakan Teknologi untuk Efisiensi dan Tracking
Dengan tekanan krisis iklim, kebutuhan untuk tahu secara real-time dari mana bahan baku datang, berapa emisi yang dihasilkan, sampai seberapa boros energi di gudang, jadi makin krusial. Dan di titik inilah teknologi sangat penting peranannya.
Di Indonesia sendiri, adopsi teknologi ini udah mulai terlihat. Dikutip dari TransTRACK, beberapa perusahaan logistik besar pakai fleet management system untuk optimasi rute kendaraan biar hemat bahan bakar dan menekan emisi.
Selain itu, teknologi juga bisa bantu perusahaan memenuhi tuntutan konsumen dan regulasi soal keberlanjutan. Contoh: sistem energy management di pabrik bisa melacak konsumsi listrik per mesin. Data ini bisa dipakai untuk laporan keberlanjutan, sekaligus bukti kalau bisnis memang serius mengurangi jejak karbonnya.
4. Bangun Kemitraan Berbasis Keberlanjutan
Sekarang, yang dibutuhkan adalah kemitraan jangka panjang dengan supplier, distributor, maupun mitra logistik yang sama-sama punya komitmen keberlanjutan.
Di Indonesia, banyak perusahaan besar mulai menerapkan kebijakan supplier code of conduct yang mengharuskan vendor mereka punya standar lingkungan tertentu, misalnya penggunaan energi terbarukan atau minimalisasi plastik sekali pakai.
Selain itu, kolaborasi lintas sektor juga bisa jadi jalan. Misalnya, perusahaan logistik, startup teknologi, dan produsen barang bisa kerja bareng untuk bikin sistem distribusi rendah emisi. Inisiatif semacam ini jelas makin memperkuat reputasi brand di mata investor maupun konsumen yang peduli lingkungan.
Inovasi Produk dan Layanan yang Ramah Lingkungan
Kalau operasional dan supply chain udah lebih tangguh, langkah berikutnya adalah mikirin apa yang kita jual ke pasar. Soalnya, di era krisis iklim, konsumen sekarang nggak cuma lihat harga dan kualitas, tapi juga dampak lingkungan dari produk atau layanan. So, berikut langkah-langkah yang bisa kamu tempuh:
1. Lakukan Riset Pasar untuk Produk Hijau
Produk ramah lingkungan itu potensial, tapi tetap harus dibuktikan lewat data. Studi McKinsey & NielsenIQ nunjukin tren global konsumen makin condong ke produk berlabel hijau, meski di Indonesia faktor harga dan akses masih jadi penentu utama.
Itu artinya, riset pasar harus fokus pada segmen yang benar-benar siap membeli. Misalnya Gen Z dan milenial urban, plus tes kesediaan mereka untuk bayar lebih (willingness-to-pay). Metodenya bisa lewat survei, MVP (produk uji coba sederhana), atau A/B testing harga.
2. Gunakan Material Berkelanjutan
Material berkelanjutan jadi salah satu kunci bisnis bertahan di tengah krisis iklim. Deloitte mencatat, perusahaan yang beralih ke material berkelanjutan, seperti plastik daur ulang atau kemasan berbasis serat alam, lebih mudah diterima pasar sekaligus menurunkan jejak karbon.
Untuk konteks Indonesia, ada potensi besar dari bambu, serat kelapa, dan bioplastik berbasis singkong. Selain ramah lingkungan, material lokal juga bantu kurangi biaya impor.
3. Integrasikan Teknologi Rendah Karbon
Teknologi bukan cuma soal efisiensi di era krisis iklim, tapi juga positioning. Contoh konkret: penggunaan panel surya untuk produksi, sistem smart energy management di pabrik, atau teknologi carbon capture skala kecil untuk sektor tertentu.
Menurut laporan IEA, teknologi rendah karbon bisa memangkas biaya energi jangka panjang sambil memenuhi target emisi global . Di level UMKM, penerapan bisa sesederhana beralih ke mesin hemat energi atau cloud computing yang lebih efisien dibanding server fisik.
4. Kembangkan Model Bisnis Berbasis Sirkular
Ekonomi sirkular intinya memaksimalkan nilai produk lewat reuse, recycle, dan refurbish. Model ini di era krisis iklim, bukan cuma untuk mendukung keramahan lingkungan, tapi juga efisiensi biaya karena bahan baku bisa dipakai ulang.
Di Indonesia, peluang besar ada di fashion (thrift & upcycle), elektronik (refurbished gadgets), dan F&B (kemasan isi ulang). Model ini bisa jadi diferensiasi bisnis sekaligus bikin supply chain lebih tahan krisis.
5. Bangun Value Proposition Berbasis Dampak Lingkungan
Konsumen sekarang makin selektif: mereka pengen tahu apa dampak nyata dari produk yang dibeli. Karena itu, value proposition harus transparan: berapa emisi yang dihemat, berapa persen material daur ulang dipakai, atau bagaimana produk mendukung penghidupan lokal.
Bangun Kepercayaan dengan Konsumen dan Stakeholder
Sekarang waktunya geser ke aspek yang sering jadi faktor penentu: kepercayaan. Soalnya, nggak peduli seberapa canggih strategi atau hijau produkmu, tanpa trust dari konsumen dan stakeholder, bisnis kamu juga bisa hanya jalan di tempat. Cara-cara praktisnya kamu bisa ikuti 5 tahap di bawah ini:
1. Transparansi Data dan Laporan Keberlanjutan
Di tengah krisis iklim global, konsumen makin peka terhadap klaim hijau. That’s why transparansi data jadi kunci biar bisnis nggak dicap greenwashing.
Laporan keberlanjutan yang yang dimaksud ini bisa mulai dari pengurangan emisi, efisiensi energi, sampai progres supply chain hijau. Laporan semacam itu bisa bikin stakeholder yakin bahwa brand memang serius bergerak, bukan sekadar cari citra.
2. Bangun Kolaborasi dengan Stakeholder Strategis
Nggak ada bisnis yang bisa bertahan sendirian menghadapi dampak krisis iklim. Kolaborasi dengan supplier, komunitas, bahkan regulator penting banget untuk memastikan ekosistem usaha lebih tangguh.
Misalnya, bermitra dengan pemasok bahan baku berkelanjutan atau program lingkungan bersama komunitas lokal. Cara ini bukan hanya mengurangi risiko, tapi juga memperkuat legitimasi brand.
3. Respons Cepat terhadap Isu Krisis
Asal tahu ya Crepanity, kepercayaan itu sebetulnya cukup rapuh, apalagi kalau brand lambat merespon isu. Ketika muncul tudingan atau krisis terkait dampak lingkungan, konsumen lebih menghargai brand yang transparan dan sigap memberi klarifikasi.
Nah, itulah kenapa, bengan protokol komunikasi yang siap, bisnis bisa mengubah krisis jadi momentum memperlihatkan integritas.
4. Libatkan Konsumen dalam Proses Keberlanjutan
Konsumen sekarang pengen lebih dari sekadar beli produk. Mereka juga ingin jadi bagian dari solusi. Itu sebabnya, bisnis bisa melibatkan mereka lewat program daur ulang, opsi refill, atau sekadar edukasi transparan soal asal-usul produk. Ketika konsumen merasa kontribusinya nyata, trust otomatis akan tumbuh lebih kuat.
5. Manfaatkan Partner Strategis untuk Perkuat Trust
Trust juga butuh strategi komunikasi yang tepat. Maka, menggandeng partner berpengalaman juga bisa bikin narasi keberlanjutan brand lebih kredibel dan engaging. Di sini, Crepa bisa hadir sebagai partner bisnis kamu yang bisa bantu memperkuat brand lewat influencer marketing dan social media management.
Dengan pendekatan storytelling yang segar, isu krisis iklim bisa dibicarakan dengan cara yang lebih dekat ke audiens tanpa kehilangan profesionalitasnya. So, kalau kamu pengen ngobrol lebih lanjut, langsung aja klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah ya, tim Crepa siap bantuin kamu!
Trust juga butuh strategi komunikasi yang tepat. Maka, menggandeng partner berpengalaman juga bisa bikin narasi keberlanjutan brand lebih kredibel dan engaging. Di sini, Crepa bisa hadir sebagai partner bisnis kamu yang bisa bantu memperkuat brand lewat influencer marketing dan social media management.
Dengan pendekatan storytelling yang segar, isu krisis iklim bisa dibicarakan dengan cara yang lebih dekat ke audiens tanpa kehilangan profesionalitasnya. So, kalau kamu pengen ngobrol lebih lanjut, langsung aja klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah ya, tim Crepa siap bantuin kamu! v
Simpulan
Nah, sekarang udah makin jelas kan gimana krisis iklim bukan cuma isu lingkungan, tapi juga langsung nyambung ke risiko dan peluang bisnis? Biar gampang inget, ini highlight penting yang udah kita bahas:
- Rapikan laporan keberlanjutan supaya akses ke pendanaan hijau makin terbuka.
- Optimalkan operasional dan supply chain biar bisnis lebih tangguh hadapi krisis iklim.
- Kembangkan produk atau layanan ramah lingkungan untuk menangkap peluang pasar baru.
- Bangun kepercayaan dengan konsumen dan stakeholder lewat transparansi, kolaborasi, dan komunikasi yang tepat.
