#StressLessEarnMore

Green Economy: Jalan Baru Bisnis Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan

Strategi Bisnis dalam Menerapkan Green Economy
Cara Menerapkan Green Economy
Strategi Bisnis dalam Menerapkan Green Economy

Kamu seorang pebisnis? Kalau iya, selamat sudah mengklik artikel ini. Karena artinya, kamu benar-benar memerhatikan masalah riil dari perusahaan kamu. Dulu, istilah “green economy” mungkin sekadar jargon saja. Tapi sekarang, pebisnis mau nggak mau harus menganggapnya sebagai strategi bertahan hidup.

Pasalnya, masalah yang akan bisnis kamu alami ada banyak, kalau green economy ini nggak dijadikan strategi. Mulai dari konsumen yang akan meninggalkan brand kamu. Investor yang pasti ogah-ogahan melirik bisnismu. Sampai bahkan potensi gulung tikar pun bisa jadi sangat mungkin. Kenapa demikian?

Nah, artikel ini akan menguraikannya secara lengkap. Dan bukan cuma dampak ketika green economy diabaikan saja. Tapi juga soal strategi hingga tantangan yang perlu kamu perhatikan biar bisnis tetap relevan. So, baca dan pahami baik-baik sampai tuntas, ya! 

Kenapa Harus Green Economy?

Supaya kamu lebih yakin fondasi berpikirnya, pertama-tama kita bahas dulu secara mendetail kenapa green economy urgent untuk dijalankan. Poin-poin berikut ini Crepanion susun berdasarkan data dan fakta yang sudah dikumpulkan lewat berbagai sumber.

1. Risiko Finansial kalau Bisnis Abaikan Green Economy

Ada konsekuensi ekonomi yang nyata kalau bisnis mengabaikan green economy. Menurut laporan Swiss Re (2025), kerugian ekonomi global akibat bencana alam terkait iklim mencapai USD 320 miliar pada 2024, dengan kerugian yang diasuransikan sekitar USD 137 miliar. 

Tren ini bahkan diprediksi naik 5–7% per tahun di 2025. Artinya, risiko finansial akibat cuaca ekstrem seperti banjir, kebakaran hutan, dan badai makin besar dan langsung berdampak ke neraca perusahaan.

Dampak lain datang dari profitabilitas jangka panjang. World Economic Forum dan BCG dalam laporan The Cost of Inaction (2024), menyebut bahwa jika perusahaan tidak menyiapkan transisi hijau, mereka bisa kehilangan 5–25% EBITDA pada 2050 hanya dari physical risk (risiko fisik akibat perubahan iklim) seperti kerusakan aset produksi atau terganggunya distribusi.

2. Tren Investasi Global yang Makin Maju

Pasar modal dan investor global sekarang seperti punya satu mantra: “green economy itu lebih menarik, more than ever.” Kenapa? 

Menurut International Energy Agency (IEA), total investasi energi global di 2024 nembus USD 3 triliun. Dan ajaibnya, USD 2 triliun dari angka itu dialokasikan ke energi bersih seperti renewable, storage, grid, dan nuklir; tingkat yang dua kali lipat dari belanja sektor fosil (±USD 1 triliun).

Lebih lanjut, di 2025 trennya juga makin kuat. Mengutip World Economic Forum, investasi bersih bakal melonjak ke USD 2,2 triliun, sementara energi fosil cuma ditaksir capai USD 1,1 triliun. So, semua ini pada akhirnya menarik satu kesimpulan yang sama: clean energy sekarang jadi primadona investasi global.

3. Tekanan Rantai Pasok dari Perusahaan Global

Tekanan untuk masuk ke arus green economy sekarang datang langsung dari jalur distribusi dan brand besar. 

Dalam laporan Green Business Finance Magazine (2024), lebih dari 80% pemasok global kini menghadapi tekanan dari klien utama mereka untuk punya target pengurangan emisi. Bandingin sama 2011, ketika angkanya baru 25%. Artinya, sustainability sudah jadi syarat mutlak dalam kontrak bisnis lintas negara.

Kasus nyatanya pun ada, datang dari industri fashion. Vogue Business (2024) mencatat beberapa manufaktur besar di Asia Selatan mulai serius investasi untuk dekarbonisasi. Contohnya, Epic Group sedang membangun pabrik net-zero di India, sementara Arvind mengurangi ketergantungan batubara dan beralih ke biomassa. 

Ini jelas dilakukan bukan karena idealisme semata, tapi karena brand internasional menuntut supplier lebih fokus pada green economy. Kalau tidak, pesanan mereka bisa dialihkan ke kompetitor yang lebih ramah lingkungan.

4. Green Economy sebagai Sumber Efisiensi dan Keuntungan

Selain risiko-risiko tadi, green economy juga membawa efisiensi dan keuntungan buat bisnis. Sejauh Crepanion riset, ada 2 hal utama yang akan didapatkan bisnis yang ramah lingkungan, yaitu:

a) Hemat Biaya Operasional

Menurut Financial Times, industri global bisa hemat hingga USD 437 miliar per tahun pada 2030 hanya dengan meningkatkan efisiensi energi. Misalnya lewat isolasi yang lebih baik, lampu LED, dan sistem pemanas yang lebih cerdas. Artinya, investasi awal bisa dibayar balik lewat pengurangan tagihan energi yang nyata.

b) Efisiensi Berlipat jika Memanfaatkan Sistem Digital

Masih mengutip Financial Times juga, digitalisasi + efisiensi energi bisa bantu ambil 20% dari total penghematan energi yang diperlukan untuk net-zero 2050. Hal ini bisa dicapai lewat sistem otomatis, monitoring real-time, dan data-driven decision-making.

Strategi Bisnis dalam Green Economy

Menurut studi terbaru yang dipublikasikan di Business Strategy and the Environment (2025), inti dari strategi bisnis dalam green economy ada pada pembangunan dynamic capabilities yang dicapai lewat 3 tahap. Apa saja itu?

Pertama, kemampuan organisasi untuk sense (mendeteksi peluang & ancaman lingkungan), seize (menangkap peluang melalui inovasi), dan transform (mengubah proses atau model bisnis agar lebih hijau). Tenang, biar lebih gampang memahami, berikut Crepanion uraikan satu per satu.

1. Membangun Sensing Capability

Sensing capability itu kemampuan perusahaan buat “punya radar”, alias peka sama tren global, regulasi baru, dan perubahan perilaku konsumen terkait isu lingkungan. Langkah konkretnya gimana?

  • Mapping regulasi: Misalnya EU punya kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang nge-charge impor barang dengan emisi tinggi. Nah, perusahaan ekspor dari Indonesia jelas harus siap sama regulasi semacam itu.
  • Analisis konsumen: Lihat bagaimana target konsumen kamu dalam memilih produk dengan klaim sustainability.  Karena seperti di awal Crepanion katakan, demand ini nyata banget.
  • Monitor kompetitor: Lihat gimana pemain besar udah shifting ke produk rendah karbon (contoh: Apple janji semua produk netral karbon 2030).

 

Kalau perusahaan masih kabar sama tahap ini, risiko ruginya gede. Bisa ditinggal konsumen, kena pajak tambahan, atau bahkan dilarang ekspor. Jadi, sensing capability = langkah awal buat survive di era green economy.

2. Mengembangkan Seizing Capability

Ini soal kemampuan perusahaan “nangkap peluang hijau” dan ubah jadi strategi nyata. Jangan cuma ngerti tren, tapi harus bisa action. Langkah konkretnya gimana?

  • Investasi teknologi bersih: Contoh PLN yang mulai push energi terbarukan biar nggak terus ketergantungan batu bara.
  • Produk eco-friendly: Misalnya Unilever yang rebrand banyak produknya jadi sustainable living brands. Bahkan ternyata dalam laporannya, penjualannya 69% lebih cepat daripada produk lain.
  • Supply chain hijau: Perusahaan logistik kayak DHL juga udah investasi ke armada listrik buat nurunin jejak karbon distribusi.

 

Karena di green economy, peluang pasar hijau makin luas. Konsumen rela bayar lebih buat produk ramah lingkungan, investor juga makin prefer dana mereka dialokasikan ke bisnis hijau.

3. Melakukan Transforming Capability

Transforming capability adalah keberanian buat rombak model bisnis supaya benar-benar selaras dengan prinsip green economy. Ini level paling advanced. Langkah konkretnya gimana?

  • Circular business model: IKEA bikin layanan furniture take-back supaya barang lama bisa di-recycle atau dijual kembali. Ini membuat model bisnisnya jadi ramah lingkungan.
  • Transparansi emisi: Microsoft laporin detail emisi scope 1–3 dan target net-zero 2030. Ini bikin trust ke stakeholder makin kuat.
  • Redesign operasional: Dilansir Reuters.com, beberapa pabrik manufaktur beralih ke energi terbarukan 100% untuk produksi.

 

Transformasi seperti ini bikin bisnis lebih tahan banting. Model linear “ambil–buat–buang” udah ketinggalan zaman. Dengan transformasi, perusahaan bisa jaga profit jangka panjang, sekaligus adaptif sama guncangan pasar dan regulasi baru.

Tantangan dalam Membangun Green Economy

Kalau sebelumnya kita udah ngomong soal strategi bisnis dan peluang cuan dari green economy, sekarang waktunya kita lihat tantangan di baliknya. Karena sebetulnya, ada banyak tantangan yang bikin implementasi green economy ini “ngos-ngosan”, terutama di level negara berkembang. 

Menurut Sudjono (2023) dalam artikelnya “Green Economic Transformation: Opportunities and Challenges for Sustainable Development”, hambatan ini muncul dari sisi finansial, teknologi, sampai resistensi sosial dan industri tradisional. Berikut lebih lengkapnya:

1. Keterbatasan Finansial

Transisi hijau butuh investasi awal yang gede banget, entah untuk energi terbarukan, infrastruktur hijau, atau riset teknologi. Negara berkembang sering stuck di sini: modal minim, akses ke pembiayaan hijau susah, sementara investor lebih nyaman masuk ke sektor lama yang dianggap lebih “pasti.”

2. Gap Teknologi dan Inovasi

Menurut studi ini, adopsi teknologi bersih (misalnya panel surya, grid pintar, atau praktik pertanian berkelanjutan) masih terbatas karena biaya, kurangnya R&D lokal, dan ketergantungan pada impor teknologi dari negara maju. Akibatnya, percepatan green economy jadi timpang antar-negara.

3. Kesenjangan Skill dan SDM

Green economy butuh tenaga kerja dengan keahlian baru: teknisi energi surya, insinyur mobil listrik, ahli circular economy. Tapi workforce existing lebih banyak yang terlatih di industri lama seperti batu bara dan manufaktur konvensional. Maka tanpa reskilling masif, ada risiko job displacement.

4. Resistensi dari Industri Tradisional

Sektor yang sudah mapan, kayak minyak, gas, dan batubara, sering jadi penghambat utama. Mereka punya kepentingan bisnis, lobi politik, dan jaringan distribusi yang kuat. Resistensi bisa muncul lewat penolakan regulasi baru, delay proyek energi terbarukan, atau bahkan kampanye anti-green.

5. Koherensi Kebijakan yang Lemah

Sudjono (2023) juga nyorotin bahwa banyak negara gagal menyatukan kebijakan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hasilnya? Program green economy jadi setengah hati, inkonsisten, atau malah kontradiktif (misalnya subsidi energi fosil tetap jalan, sementara program energi hijau juga dipromosikan).

Jadi jelas, membangun green economy ini bukan sekadar niat baik, tapi butuh modal besar, skill baru, kebijakan tegas, dan keberanian ngelawan status quo.

Simpulan

Itu dia pembahasan lengkap soal green economy, dari dampak nyata kalau bisnis cuek sama strategi hijau, tren investasi global yang makin shift ke energi bersih, sampai tantangan berat di level supply chain, efisiensi, dan risiko finansial. Supaya makin kebayang, yuk kita rekap highlight-nya:

  • Mengabaikan green economy itu mahal: risiko bencana iklim, premi asuransi melonjak, sampai potensi profit (EBITDA) terkikis.
  • Investor dunia makin hijau: kapital global udah condong ke energi bersih, green bonds, dan inovasi ramah lingkungan.
  • Rantai pasok global makin ketat: brand internasional lebih pilih supplier yang hijau, yang nggak ikut ketinggalan.
  • Strategi hijau = efisiensi & cuan: dari hemat energi sampai circular business model, semua bisa jadi sumber keunggulan kompetitif.
  • Tantangan tetap ada: dari keterbatasan finansial, gap teknologi, sampai resistensi industri lama, tapi bukan berarti nggak bisa ditembus.

Nah, kalau brand kamu lagi cari partner digital marketing yang bisa nge-branding bisnismu agar dikenal target konsumen sebagai bisnis ramah lingkungan, Crepanion jawabannya. 

Di Crepa, kita bukan sekadar eksekutor campaign, tapi partner strategis yang mikirin relevansi jangka panjang brand kamu. Mulai dari social media management, crowdsourcing, sampai influencer marketing, semuanya kita kemas biar nyambung sama narasi besar green economy dan tren global.

Jadi gimana, Crepanity? Siap scale-up bareng Crepanion dan bikin brand kamu tahan banting di masa depan? Klik ikon WhatsApp di pojok kanan bawah, and let’s talk strategy!